PENGANTAR
Awal kata , penulis bukanlah orang yang mengerti bagaimana aturan sebuah tinjauan filem, penulis juga belum lah mengerti istilah-istilah perfileman dengan baik dan benar, juga penulis bukanlah seorang pemuda yang tau detail budaya Minangkabau dan seluk beluk tahun 1930 an, hal –hal tersebut diaatslah itulah yang membuat penulis risau untuk membuat tinjauan mendalam tentang suatu pertunjukan filem ini, tapi karena permintaan dan janji kepada beberapa orang kawan, maka penulis tetap mencoba menuliskannya disini, mungkin bukan dalam bentuk tinjauan, melainkan dalam bentuk ceritera asal muasal bagaimana penulis sebelum , saat dan setelah menonton pertunjukan film ini. Mudah-mudahan ada juga hendaknya diantara tuan dan nona yang suka membacanya, karena bercermin pada nasehat mendiang buya HAMKA :
“Seorang pengarang buku, walau pun bagaimana putus asa hidupnya, jika suatu saat dilihatnya orang sedang membaca bukunya dengan asyik, dia lupa akan kepayahan dan keputus-asaanya” (TKVDW 98)
**
1
Hayati, nama ini adalah awal mula hikayat ini, tidak tuan- penulis tidak lah bohong. Nama nona itu memanglah hayati. Kala itu, penulis berjanji dengannya untuk bertemu disebuah pusat perbelanjaan di kota kembang ini, harusnya angkutan yang penulis tumpangi berhenti tepat dimana nona ini menanti, tapi kita penumpang cuma bisa berencana, tuan supir juga yang menentukan, yang harusnya lurus berbeloklah dia,sehingga penulis harus berpanas-panas berjalan sekian ratus meter menuju tempat nona itu menanti. dan di suatu kelok penulis terhenti, mata penulis menangkap sebuah gambar filem yang tinggi menjulang
TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK
“ Tidak adakah keseriusan orang dalam membuatnya? “ pikir penulis kemudian, dalam ukuran kecil mungkin bisa terlewatkan sahaja. tapi ketika sudah menjadi begitu besar, menjadi lawan bagi mata penulis : gambar para penumpang kapal yang selayaknya memunculkan air mata penulis ketika melihatnya, malah membuat penulis tertawa. belum lagi sepasang muda mudi yang menjadi lakon utama dari film ini, penulis tak berhenti nya menggeleng, buat penulis, sudah jelas,tak lain tak bukan, mereka cuma dijual karena kemahsyuran mereka di film mereka yang dahulu.
Penulis meneruskan perjalanan penulis sampai bertemu dengan nona hayati, dan sudahlah tentu pertemuan penulis dengan gambar besar film tadi menjadi bahan utama pembicaraan kami
“ Kecewa, masa gambarnya seperti itu, tidak ada minang-minangnya” komentar Hayati yang memang asli berdarah minang, sama seperti penulis.
“Sudah jelas akan senasib dengan ‘Dibawah Lindungan Kabah’” tambah penulis merujuk kepada film sebelumnya yang diangkat dari pengarang yang sama dan dipertunjukkan oleh orang yang kurang lebih sama. Maka, begitulah kisah pertemuan penulis dengan Hayati, dimana penulis pertama kali berserobok pandang dengan gambar besar dari kisah yang akan kita ceritakan nantinya.
2
Entah sudah berapa terang dan berapa gelap yang penulis lewati setelah hari itu, saat seorang teman di sebuah kelompok media sosial menunjukkan cuplikan awal dari pertunjukan film berjudul TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK ini. Banyak dugaan muncul akan cuplikan itu, ada yang berkata cukup serupa dengan Great Gatsby, sebuah roman dari belahan bumi sana, ada juga yang berprasangka film ini mencoba mengulang Titanic, kaapal termashur di zamannya. Demikianlah, kami semua cuma mengira-ngira karena dari beberapa orang yang muncul dan menyampaikan pendapat belum ada yang pernah membaca novelnya. Sampai ketika seorang dari kami yang pernah membaca pun, juga tak bisa memberikan pendapat apa-apa, karena dia membacanya sudah lama, entah di usia berapa, semasa masih muda-muda.
Begitu pun dengan nona Hayati yang penulis ceritakan sebelumnya, dia memang sudah pernah membaca, tapi itu sudah sangat lama, dan ketika suatu senja yang entah keberapa dari cerita pertama kami bertemu kembali dia bertanya
“Apakah engku akan menontonnya?” sebenarnya tidak ada engku engkuan disana , tapi sengaja penulis ganti bair sedikit bergaya.
Penulis memberikan jawaban serupa dengan jawaban yang penulis tuliskan di grup waktu itu
“Saya mungkin akan menontonnya, tapi nanti, setelah mengkhatamkan novelnya terlebih dahulu..”
“Kenapa gerangan?” penulis tidak yakin gerangan adalah kata yang tepat disini, tapi biarlah dulu seperti itu
Penulis kembali menjawab baik untuk hayati dan juga untuk grup muda-mudi dimana penulis bernaung :
“Belumlah sempurna caci saya akan karya filem ini, sebelum saya membandingkan dengan novelnya” terang penulis kepada keduanya. sesungguhnya bahasanya tidaklah demikian, namun penulis percaya tuan dan nona sudah mengetahuinya.
3
Namanya Edo, teman penulis yang bekerja di ibukota, suatu hari di bulan Desember, dia berencana kan pulang ke kota ini dan mengajak penulis dan beberapa teman untuk menonton film ini bersama-sama, sekaligus bersenang-senang, menikmati kesuksessannya sebagai orang gajian. Maka, bertanyalah ia lewat sebuah pesan pendek di telepon genggam penulis yang pintarnya tidaklah jauh berbeda dengan pemiliknya ini :
“Saya ikut, tapi saya mau baca dulu bukunya” penulis kembali berkata demikian
“Baiklah, sementara itu, selamat mencari bukunya” demikian bunyi balasan pesan dari beliau
“Terimakasih, sementara itu, selamat mencari wang sebanyak-banyaknya” balas penulis
“Tak perlu kau risau akan hal itu kawan” balasnya tak mau kalah seperti hari biasanya.
Tapi apa mau dikata, seperti kata rang tua bahwa kita manusia cuma bisa berencana, sampai ketika Edo menginjakkan kakinya di kota ini, penulis belum juga berhasil dan berkesempatan membaca novel gubahan buya HAMKA ini, maka ingkarlah penulis ketika janji itu musti ditunaikan pada satu malam , dan membiarkan mereka sahaja yang bersenang-senang
“Selamat bersenang-senang, saya menunggu ulasan kawan sahaja” balas penulis malam itu.
“Mengapa kawan tidak mau ikut, tidak tertarikkah ?” kata kawan kamar penulis yang sudah menonton pertunjukan film ini terlebih dahulu bersama calon istrinya.
“Tidak, saya cuma belum baca novelnya” terang penulis
dan berangkatlah Edo dan beberapa teman malam itu, sementara pertunjukan buat penulis musti diundurkan. Namun, ketika beberapa hari setelah itu kami bersua kembali, mereka tak bercerita apa-apa, namun dari canda mereka yang menggunakan dialog, logat dan lagak dari pertunjukan film tersebut, penulis nilai, pertunjukan itu sudah mencuri hati pemuda-pemuda ini.
**
4
“Bagaimana, sudah jadikah membaca novelnya ?”
Hayati mengiirim pesan pendek kepada penulis di malam yang entak keberapa setelah kawan-kawan penulis menonton film itu
“Belum “ jawab penulis pendek
“Minta alamat surat elektronik engku,aku kirim kesana” kata nona hayati tanpa engku itu di kisah sebenarnya.
Maka demikianlah riwayatnya bagaimana penulis menemukan dan bisa membaca salah satu mahakarya buya HAMKA ini. Namun, penulis tidak langsung membuka surat elektronik dari Hayati malam itu juga, Ditengah kesibukan penulis yang tidak punya pekerjaan ini, penulis baru bisa membukanya tadi malam, itupun sudah melewati pukul 12, maka singkat cerita, paginya berhasillah penulis mengkhatamkan karya itu,dan jujur penulis katakan : penulis terpesona,dari awal sampai kepada ujungnya. Cuma satu yang penulis sayangkan, bahwa semenjak cuplikan dan gambar promosi pertunujukan ini ada dimana-mana, imajinasi penulis tertuju pada sosok sosok di pertunjukan tersebut, tapi apa mau dikata, paling tidak penulis sudah berusaha membaca dan membangun sendiri imajinasi,w alau lebih banyak gagal dibanding berhasilnya.
Selain kepada Hayati yang memang sudah sewajibnya penulis berterimakasih, penulis juga berkisah tentang hal ini kepada Agi, kawan penulis yang bersekolah di Jogja, yang sudah lebih dahulu membaca karya ini, tapi seperti yang dia tulis disaat kami berbalas balasan pesan : “Agi menunggu.. menunggu unduhan” begitualh yang dia tulis, sepertinya memang belum ikhlas si Agi ini untuk menerima bagaimana salah satu novel yang disukainya ini akan diceritakan oleh para pembuat film., “ Dan Agi menanti ulasan akan film yang berhasil membuat beberapa kawan menangis ini” tambahnya kemudian “ Saya akan mencoba menilai dengan adil” balas penulis kemudian
“ Jadi kapan akan ke pertunjukan?”
“Sore ini, kalau tak ada halangan, kalau hujan reda, kalau angin tenang,” kira-kira demikian balasan penulis, walau lebih banyak penulis tambah-tambahkan keindahan di kalimatnya.
**
5
Tahun sudah berganti semenjak pertama kali penulis melihat gambar besar dari pertunjukkan filem ini. Dikepala penulis hari ini tentunya sudah demikian berkurang orang-orang yang akan menontonnya, dalam hitungan penulis, pertunjukaan semegah ini tentulah sudah tidak akan dilewatkan orang di awal-awal, maka penulis yang datang entah berapa minggu belakangan ini tentu bisa menonton agak tenang, bahkan kalau perlu dalam ruangan pertunjukan gelap itu, cuma ada penulis seorang, tapi ternyata malang tidak dapat diraih, mujur tidak dapat ditolak : bangku yang ada buat penulis cuma satu didepan layar dan satu di atas sana, terletak di paling ujung di jejeran bangku teratas : bangku yang sama yang akan penulis pilih jikalau penulis seorang diri di kesempatan lain. malang atau mujur,silahkan tuan dan nyonya tentukan sendiri.
Disebelah penulis berjejer muda mudi yang mungkin dalam satu kumpulan, didepan penulis adalah mereka para gadis usia belia yang penulis percaya baru mengenal cinta, sementara di mana-mana ada pasangan yang penulis yakin bahagia, walau mungkin tak sebahagia ketika lampu ruangan ini tak lagi menyala.
Pertunjukan pun dimulai, dan penulis langsung terganggu dengan warna huruf yang tidak padu dnegan warna air di layar, seperti tidak ada saja pilihan warna lain, atau seperti harus pula warna itu yang mereka pakai sebagai perkenalan para pemain dan pembuat film ini, tapi sudahlah, penulis mencoba bersabar.
Narasi dimulai, adegan berjalan, dimulai langsung dari keinginan Zainuddin untuk melihat tanah asal orangtuanya tanpa harus bersusah susah menjelaskan kenapa ayah Zainudin sampai berakhir di Mengkasar. Penulis mencoba untuk paham karena tanpa cerita tikam menikam itu pun, penonton pun tetap akan menikmati kisah cinta ini.
Gambar di alayr sudah berganti: Zainudin sampai di ranah minang dan dengan cara yang seingat penulis tak ada di novel,Zainudin pun menemukan tempat menumpang. gambar-gambar rancak dan sumarak pun hadir silih berganti mengisi layar, warna-warna syahdu memanjakan tiap mata yang melihat, dan mulailah cinta Zainudin dan bungo Batipuah bernama Hayati ini diceritakan. Awalnya penulis tidak menerima kenapa adegan pertemuan keduanya di dangau seperti yang penulis baca tidak ada, padahal penulis menunggu adegan yang menurut penulis akan indah tersebut : dangau dan sawah ,air yang mengalir, serta pengakuan cinta buat pertama kali bagi keduanya, sayang sekali tidak penulis lihat disini. Penulis menunggu dan menunggu, sampai ketika gambar di layar dengan cepat bercerita bahwa mereka musti berpisah, penulis baru sadari : pembuat film lebih memilih untuk memberi jiwa pada adegan ini. Jujur penulis berkata, pilihan ini sudah benar adanya.dan….
walau rambut berganti selendang
yang penting maksud tidaklah hilang
Selanjutnya, ada sedikit rasa bangga yang menyeruak ketika nama Padang Panjang, kota dimana penulis dibesarkan muncul di layar, namun bangga segera berhanti heran, karena penulis sama sekali tidak tau apakah memang begitu pakaian orang-orang kaya Padang Panjang dizaman itu? mata penulis terasa agak janggal saja,entahlah, agak sedikit terlalu ‘bermusuh’ dengan budaya Batipuh yang padahal tidak seberapa jauh. Demikian juga ketika mereka semua sudah pindah ke tanah jawa, music dan dansa yang di hadirkan agak sedikit mengganngu bagi penulis, mungkin seandainya beberapa lagu kawan-kawan bang Muluk di gantikan oleh gesekan biola Zaynuddin, film ini penulis rasa akan lebih menyayat hati dan jiwa penontonnnya. Ya, buat tuan dan nona yang bertanya,selain merokok, di novelnya Zainuddin juga di ceritakan piawai bermain biola.
Kembali ke gambar gambar indah yang timbul dan tengggelam, muncul dan menghilang di layar : penulis bisa menikmati hampir semuanya, komedi yang di naskah asli bisa dikatakan hampir tidak ada, berhasil diletakkan oleh pembuat film dengan seksama, bagi penulis sendiri , usaha-usaha itu tidaklah terlalu lucu, tapi harus diakui, keberadannya juga sama sekali tidak menganggu. namun kadang, tawa penonton disekitar yang agak berlebihan dna tidak pada tempatnyalah yang membuat penulis sedikit menggerutu . Begitu juga dengan dialog dan kutipan yang penulis harapkan bisa muncul di pertunjukkan ini ,pun hampir semuanya dimunculkan oleh si pembuat film. Mengenai ekting para pelakonnya, Reza Rahardian tidak usahlah kita terlalu tajamkan pembahasannya, peran seperti ini sudah makanannya, penulis sendiri kagum dengan permainan encik Pevita, ketika orang diluar sana beranggapan dia tidak pantas, menurut penulis justru cukup berhasil membawakan perannya, apalagi jika dibandingkan dengan sang pemeran utama, yang terganjal di tiap ucapnya, yang malah mengundang tawa hampir dalam setiap kata. Padahal selain bang Muluk yang memang di set untuk mencairkan suasana , dimana dia berhasil melaksanakan tugasnya, sejatinya di film ini tidak ada lagi tawa, cuma duka dan air mata. Kalau penulis berkesmpatan memilih, mungkin penulis lebih memilih mempercayakan Sabhir sang penyair ini kepada karib si Zainudin di film realita cinta dan rock n roll: Engku Vino yang penulis percaya akan lebih berhasil membawakan malang tak berkesudahan dari si Z ini.
tak ada gading yang tak retak
Buat penulis sendiri,agak disayangkan di bagian akhir setelah kematian hayati, musti sedikit berbeda dengan novelnya. Bagi penulis pribadi, seandainya penulis adalah si pihak pembuat film,sudah tentu penulis lebih memiliih akhir yang sama: yaitu bersebelahanlah hendaknya keduanya di rumah peristirahatan terkahir mereka,dengan alasan yang sama dengan sebelumnya, biar makin terasa duka dan lara di kisah ini hendaknya. Tapi tentunya juga, si pembuat film punya alasan sendiri kenapa memilih penutup yang serupa demikian, tentu ada yang ingin disampaikan, ada banyak pertimbangan, meminjam sebuah kutipan yang penulis pikir akan dilewatkan si pembuat film, namun ternyata tetap dihadirkan:
“Tak baik mencela, tiap –tiap negeri berdiri dengan adatnya, apapun bangsa dan negerinya “ (TKVDW 71)
sebuah dialog kecil yang hendaknya menjadi pembelajaran buat kita semua. sebuah pesan dan sindiran sederhana yang buat penulis pribadi mungkin bisa berlaku dimana saja dan kapan saja.
Dan percayalah, walau terdengar demikian, itu bukanlah sebuah iklan atau kebohongan demi sebuah kepentingan,bukan pula sebuah reklame untuak menang sebuah pemilihan, itu sebuah pesan jujur dari penulis, seperti halnya pesan yang penulis kirimkan kepada Hayati yang tadi mengawali kisah ini : “filmnya..cantik”
PENUTUP
Ternyata menulis dengan cara seperti ini cukup melelahkan juga, cukuplah sekali ini penulis bertutur seperti ini, entah apa pula yang membuat penulis merasa harus menulis seperti ini, dipaksa tidak, disuruh pun entah, bergaya banyak, berhasil pun ..ah, sudahlah. Tapi mudah-mudahan para pembaca tetap bisa menangkap apa yang ingin penulis sampaikan lewat tulisan ini, kalau seandainya tidak sampai tidak apa-apa, jangankan tulisan, cinta pun kadang tak sampai…
Akhir kata, penulis kalah, penulis mengaku gagal untuk mencaci film ini seperti rencana semula, kedepannnya mungkin penulis akan lebih berhati-hati sebelum berniat mencaci sebuah film, karena seperti yang sudah penulis singgung di bab sebelumnya, penulis menganggap pemuat film cukup berhasil memberikan usaha terbaik buat film ini. Namanya hidup, sebanyak yang suka, tentu sebanyak itu pula yang tidak, yang penting penulis berdoa mudah-mudahan filmnya tak cuma berhasil menyampaikan cinta yang tidak sampai, tapi sampai membawa pesan dari tulisan tangan terakhir Zainuddin :
“..dan tercapai kemuliaan bangsaku, persatuan tanah airku, hilang perasaan perbedaan dan kebencian, dan tercapai keadilan dan bahagia” (TKVDW.140)
TAMAT