Cerita Seorang Pemula Mengenal Okky Madasari Lewat Kerumunan Terakhir.

Saya bukan pembaca buku-buku hebat, buktinya buku Mbah Pram dan Orhan Pamuk cuma tergeletak penuh debu di lemari. Saat membaca karya-karya sastra adiluhung tersebut, entah kenapa dikepala saya sudah muncul asumsi kalau buku ini adalah buku buku berat, dan kadang memang kenyataanya demikian.

Sampai kemudian, lewat perbincangan dengan seorang teman, saya jadi tahu tentang  Okky Madasari dan  buku bukunya yang sudah sudah malang melintang di jagad perbukuan indoneia, bahkan dunia,

Dan ternyata buku Okky yang berjudul Kerumunan Terakhir ini, bisa saya selesaikan dengan lancar. Mungkin saya beruntung, sebagai pembaca pemula buku buku Okky, saya bisa memulai dengan karya nya yang tidak terlampau berat

Ataukah sebenarnya, buku ini emang sedang memilih saya ?  karena mungkin saya mengingatkannya akan Matajaya?

**

 

20180509_123009[1]

Dunia baru ini adalah dunia yang dibentuk dari kata dan suara, kalau aku tidak berkata dan bersuara, maka aku tidak ada

Kerumunan terakhir adalah cerita tentang  Jayanegara, seorang pemuda biasa dari daerah, yang  memilih tidak menyelesaikan kuliah dan pergi ke Jakarta menyul Maera, pacarnya yang sudah bekerja sebagai sebuah wartawan di sebuah koran. Keputusan Jay ini merupakan salah satu bentuk perlawanan kepada ayahnya, seorang professor hebat yang sayang anak tapi sayangnya juga doyan main perempuan sehingga  membuat ibunya menderita.

Di Jakarta Jay tinggal dengan Maera. Memenuhi keinginan Maera untuk mencari kerja lewat internet,  Jay malah berkenalan dengan sebuah dunia baru : internet, yang di penuhi kerumunan- kerumunan dengan berbagai macam kepentingan dan pemenuhan kebutuhan Perlahan Jay pun tenggelam dalam dunia barunya, sampai lahirlah : Matajaya

Beda dengan Jayanegara, Matajaya merupakan seorang  lelaki asal kampung yang memulai karirnya menjadi stuntman, sampai kemudian suatu ketika beasiswa pacarnya membuat dia harus pindah Amerika. Di sana, Matajaya menjadi tukang cuci piring dan kemudian pindah haluan menjadi seorang fotografer kelas dunia. Lewat cerita ceritanya Matajaya mendapat tempat di dunia baru ini yang dipenuhi pelbagai tokoh dan karakter ini : ada akardewa, veteran perang, pejuang sosial yang vokal dan menjadi semacam nabi baru di dunia Jay,  Nura, yang pernah punya kisah dengan Akardewa kemudian ditinggalkan para penghuni dunia baru, juga Kara, seorang remaja yang ingin mengubah dunia.

Di tengah hiruk pikuknya dunia baru, masihkah Jay menaruh dendam pada dunai lamanya? pada ayahnya?

**

Di zaman sekarang ini, lebih cantik aslinya daripada fotonya adalah bentuk pujian tertinggi

Hiperrealitas, secara sederhana merupakan dimana sebuah realitas bercampur baur dengan fantasi, ilusi, dengan citra dan rekaan, sehinga sulit dibedakan, dan media sosial, internet adalah tempet tumbuh suburnya fenomena  ini. Hal inilah yang menjadi roh dari buku ini. Disini, Kita bisa melihat bagaiamana, kritik sosial dan fenomena kaum milenial bersatu,

Di dunia baru, dunia virtual, kita menemukan begitu banyak tokoh yang menarik namun ketika bertemu di dunia nyata ternyata jauh berbeda, Lihat bagaimana Akardewa yang ternyata tak ‘segagah’ yang ditampilkannya di  media, begitu juga dengan Matajaya, bahkan mungkin kita sendiri, apa sesuatu yang kita posting di media sosial adalah benar benar diri kita?

Tapi tentu saja selalu ada orang orang di kerumunan yang berhasil menjadi dirinya sendiri, di Kerumunan Terakhir, kita bisa melihat sosok in diwakili oleh Maera, yang menampilkan dirinya apa adanya, memakai nama dan foto asli.Lebih dari itu, lewat tulisannya, Maera berani jujur dengan menelanjangi dirinya sendiri,tentang kebutuhannya akan sex, tentang bagaimana dia tidak mampu menahan keinginan untuk selalu disentuh dan dipuaskan. Sesuatu yang (mungkin ) tabu bagi ( sebagian ) perempuan, bahkan bagi Jaya sendiri. Namun tidak untuk Maera, dia seperti ingin menunjukkan : kalau sex, adalah kebutuhan dasar setiap manusia.

Om Freud pasti bangga !!

**

Terlepas dari tema bernuansa kekinian, kritik sosial, dan pesan yang disampaikan, sayangnya, seperti kehidupan Jay, tidak ada sebuah goal  besar yang dinanti oleh pembaca, akibatnya cerita berjalan pelan, dan karakter terasa datar, sehingga buku ini menjadi tidak terlalu mengikat. Kerumunan Terakhir menjadi  cuma potongan cerita dari pelbagai tokoh. Kalaupun anda seperti saya, membacanya sepotong-sepotong, maka kenikmatannya juga tidak akan berkurang. Kita seakan ‘cuma’ disuguhi orang orang yang diam  didepan kom[puter, barulah di halaman halaman terakhir,  ada aksi –aksi di dunia nyata, yang sekali lagi, sayangnya sudah sangat terlambat, sehingga malah menimbulkan kecanggungan, walau memang mengantar pada sebuah konflik akhir. Tapi tetap saja, seandainya tokoh Kara dengan anarkismenya ini muncul lebih cepat,  mungkin ini akan jadi lebih menarik.

but who am I to judge?

Afterall, seperti yang saya katakan di awal ; buku yang memilih pembacanya. Buku ini datang di saat yang tepat, dimana kurang lebih saya sedang berada di fase seperti Jayanegara, maka buat saya pribadi, buku ini sangat menarik untuk di baca, mungkin juga buat mereka yang seirama, yang sedang bergiat di depan komputer, ponsel, menghabiskan waktu di dunia maya, dan tenggelam dalam kefanaannya.

“Kami mabuk dan hilang kesadaran tanpa alkohol. Imajinasi, ilusi, khayalan, jauh lebih memabukkan daripada  sebotol bir”