Memasak Di Atas Sebuah Badai

Saya bukan penggemar kuliner, tapi yes, saya suka makan.

karena saya percaya,  itu adalah dua hal yang cukup berbeda.

Yang pasti, penggemar kuliner tidak mungkin cuma tau (dan suka) nasi goreng dan mie instan bukan?

jadi, apa alasan saya sok sok menonton film kuliner berjudul COOK UP A STORM ini?

**

COOKUP.jpg

Cook Up A Storm (2017)  bercerita tentang persaingan dua anak muda:  SKY, yang pernah dicaci maki ayahnya yang seorang jurumasak, karena memasak mie saja tidak becus, sekarang merupakan seorang tukang masak di seven, sebuah restoran kecil di  kawasan sederhana yang tak lama lagi akan di rubuhkan demi  proyek proyek besar, dan PAUL, seorang chef dari prancis,keturunan Korea dan Cina, yang menolak tawaran menggiurkan di sana,  dan malah membuka restoran berbintang  bernama Stellar sendiri yang ‘kebetulan’ berada di depan seven. Sebuah appetizer yang cukup menjanjikan,

Yap, ihwal persaingan dua koki tampan inilah, yang menjadi alasan pertama saya tertarik untuk menonton film ini ( catatan : penekannya di persaingan, bukan di tampan ), Sky yang santai dan menjunjung tinggi masakan timur, dan Paul yang rapi jali dan lebih mendewakan masakan barat, akhirnya harus bertarung, demi restoran masing masing dan demi diri mereka sendiri.

Sampai akhirnya,sebuah kejadian membuat  mereka memutuskan bahu membahu demi mewujudkan mimpi mereka : mengalahkan dewa masak, yang merupakan idola Paul , yang menjadi inspirasinya menjadi chef, yang kebetulan juga merupakan ayah dari Sky…

bukan spoiler kok, film ini pun tidak merahasiakannya,

**

Cerita film ini tipis, memang cuma bergantung pada rivalitas dua karakter utamanya. Sebuah main course ya kurang berhasil diolah dengan baik. Padahal kalau seandainya lebih di bumbui tentunya ini akan lebih memberi rada tersendiri pada film ini.  Binary oposisi antara Sky yang dominan dan meledak2 dan Paul yang kalem tetunya akan membaut penonton ( baca :saya) geregetan, sayangnya di film,  dua kali pertarungan mereka terasa agak datar dan dan meningalkan after taste yang biasa juga.

cook-up-a-storm2

Saya malah suka momen pertemuan mereka pertama kali, ketika rebutan ikan tuna, dan ketika akhirnya sama-sama sepakat untuk mengalahkan dewa masakan dengan melempar botol ke poster sang dewa.

Begitulah,  saya selalu suka momen bromance berbumbu rivalitas ini, seperti yang terjasi  Eric dan Xavier di x-men, atau antara L dan Light di Death Note.

Percayalah, bromance yang seperti ini sangat menarik.

Selanjutnya, sebagai show yang menjadikan  makanan sebagai sajian utamanya, kehadiran  makanannya terbilang masih kurang, begitu juga dengan proses memasak, terutama pada saat turnamen dimana seharusnya detail proses, baik dari tim karakter utama dan tim lawan lebih diulik untuk mendapatkan sesuatu yang lebih berasa. Mungkin, ini juga ada pengaruhnya dengan tempo yang seperti  percepat di penghujung cerita, juga twist yang seakan kosong tanpa ada efek yang berarti. padahal sound and special effectnya terbilang bagus,

Padahal tadinya saya mengharapkan drama yang agak mendalam, sesuatu seperti yang saya rasakan ketika bela belain nonton Master Chef di salah stu TV swasta, lagi lagi saya tidak mengerti, tidak pernah mencicipi, tapi saya suka dramanya, bahkan saya rela nebeng di kostan teman cuma untuk nonton Marinka kontes masak memasak tersebut. Pendeknya, film ini seperti sebuah sajian dengan bahan yang lengkap dan menjanjikan, tapi di masak dengan proses yang kurang sempurna,

Tapi, untunglah penghujung film, kita disajikan sebuah dessert, penutup yang cukup manis  : ketika Sky akhirnya memberikan masakan pamungkasnya,semangkok mie, bukan pada juri,  tapi pada ayahnya sang dewa masak.

Dan sesuai judulnya, Cook Up a Storm yang artinya memasak dengan sepenuh hati, semaksimal kemampuan, akhirnya membawa Sky pada sebuah pengakuan dari ayahnya

“WELL DONE, SON…”

and that’s (maybe) a spoiler..